Bahasa Indonesia di Tengah Gempuran Bahasa Gaul dan Asing

“Bestie, vibes-nya tuh gak masuk banget, literally awkward deh!”
Kalimat semacam itu semakin sering terdengar di antara percakapan anak muda zaman sekarang. Campuran antara bahasa gaul, serapan asing, dan singkatan kekinian menjadi semacam tren baru yang membuat percakapan terasa "lebih keren". Tapi, di balik tren tersebut, muncul pertanyaan penting: ke mana perginya bahasa Indonesia yang baku, santun, dan indah itu?
Kita hidup di era digital yang sangat dinamis. Media sosial, film luar negeri, dan budaya pop global membawa istilah-istilah baru yang cepat diserap anak muda. Tidak salah jika kita ingin mengikuti zaman, bahasa memang tumbuh dan berkembang sesuai konteks. Tapi, jika tidak hati-hati, bisa jadi kita justru kehilangan jati diri bahasa kita sendiri.
Menurut UNESCO, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga pembentuk identitas budaya dan kunci keberlangsungan pengetahuan lokal. Bahasa Indonesia adalah identitas bangsa, yang lahir dari semangat persatuan, menjadi dasar komunikasi lintas budaya dan daerah di negeri ini. Dalam World Atlas of Languages, UNESCO menekankan pentingnya melestarikan bahasa ibu sebagai cara mempertahankan warisan budaya dan identitas nasional. Jika bahasa kita sendiri makin tergeser, bukan tidak mungkin budaya kita pun ikut tergerus perlahan.
Sementara itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kemendikbudristek juga telah menyuarakan pentingnya revitalisasi bahasa Indonesia di era digital. Dalam berbagai kesempatan, lembaga ini menegaskan bahwa penggunaan bahasa asing atau gaul bukanlah masalah utama, selama tidak menggantikan atau mengaburkan fungsi utama bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi formal dan nasional.
Menariknya, bahasa Indonesia itu fleksibel. Ia tidak menolak perubahan, tapi juga tidak kehilangan akar. Kita bisa tetap menggunakan bahasa gaul dan istilah asing dengan wajar, selama tidak mengaburkan makna dan tidak membuat kita lupa pada kekayaan bahasa kita sendiri. Coba bayangkan, betapa indahnya jika generasi muda bisa bilang “asik banget” tanpa harus selalu menggantinya dengan “seru banget vibes-nya” karena ternyata kata asli kita pun bisa tetap keren.
Lalu apa solusinya? Bukan dengan melarang bahasa gaul atau asing, tapi dengan menyeimbangkan penggunaannya. Mulai dari sekolah, media, hingga lingkungan keluarga, kita perlu menghidupkan kembali kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Menulis di media sosial dengan bahasa yang baik, membaca buku berbahasa Indonesia, atau bahkan menonton film lokal dengan subtitel asli itu langkah-langkah kecil yang bisa menjaga nyala bahasa ibu kita.
Pada akhirnya, bahasa bukan hanya soal kata, tapi soal siapa kita dan dari mana kita berasal. Maka, mari tetap keren tanpa harus lupa akar. Bahasa Indonesia itu milik kita, dan ia akan terus hidup jika kita sendiri yang menjaganya. Sebagaimana dikatakan UNESCO, “Every language reflects a unique world view and a unique culture. Losing a language means losing a way of understanding the world.” Jangan sampai kita menjadi asing di negeri sendiri, hanya karena kita lupa cara berbicara sebagai bangsa Indonesia.
KETERAMPILAN MENULIS POPULER
Kelompok 1
1. Siti Maulida Rahmah
2. Andi Sabrina Akila
3. Wahyu Akbar Nusantoro
Baca Juga :
-
PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA DI ERA DIGITAL
-
LAMDIK Lakukan Asesmen ke Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Balikpapan
-
LAMDIK Lakukan Asesmen ke Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Balikpapan
-
LAMDIK Lakukan Asesmen ke Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Balikpapan